Mau Mahasiswa Berprestasi? Akademisi Harus Beri Dukungan dan Bimbingan

Penulis : Sri Wahyuni, Mahasiswa Program Studi Manajemen Industri Katering FPIPS UPI Angkatan 2017

Bandung. Akreditasi kini merupakan hal yang dijadikan standar kualitas suatu insitusi. Menjadi salah satu insitusi bergengsi merupakan pencapaian yang luar biasa dan menjadi prestige tersendiri pula bagi mahasiswa yang bernaung di bawahnya. Namun banyak hal yang perlu diusahakan untu mencapai titik tersebut. Ketika masa-masa menjelang akreditasi, mahasiswa dituntut untuk mengukir sebanyak-banyaknya mengukir prestasi dan aktif berkegiatan di taraf regional, nasional dan bahkan internasional. Tentu saja untuk mencapai akreditasi yang baik bukanlah suatu tanggung jawab yang sepenuhnya harus ditimpakkan ke pundak mahasiswa untuk terus berprestasi namun perlu pula didukung oleh berbagai stakeholder yang ada.

Sebenarnya, dengan menjadi mahasiswa yang berprestasi bukan hanya menguntungkan institusi tempatnya bernaung, namun juga menambah catatan baik dalam curriculum vitae  individu itu sendiri. Namun yang menjadi masalah ialah ketika institusi banyak menuntut namun kurang memfasilitasi. Sebenarnya, fasilitas apa yang sebenarnya diperlukan?

Begini Cara Dongkrak Prestasi Mahasiswa

Mari kita mulai dengan mengulas, beberapa faktor yang menyebabkan mahasiswa minim prestasi. Pertama, minimnya motivasi eksternal. Menjadi unggul di ‘kandang’ sendiri bukanlah hal yang teramat sulit bagi mahasiswa yang belajar dengan baik dan rajin.  Namun ketika melihat keluar, seringkali dia yang unggul di ‘kandang’-nya ternyata tidaklah seberapa hebat. Banyak sosok mahasiswa yang memiliki segudang prestasi dan pengalaman dengan IPK yang tentunya mantap juga, namun itu baru di tingkat universitas.  Jika melihat ke lingkup yang lebih luas, sudah tentu membuat kita geleng-geleng kepala membayangkan bagaimana metode belajar yang mereka terapkan.

Kedua, minimnya informasi yang didapat. Di era globalisasi ini, arus informasi mengalir dengan derasnya. Mahasiswa yang aktif dan kerap kali melanglang buana mendapatkan berbagai informasi yang informatif dari jaringan komunikasi yang ia punya. Semakin banyak bertemu dengan orang-orang yang memiliki tujuan dan ambisi yang sama, semakin luas informasi yang didapat dan semakin kuat pula dorongan untuk terus melangkah maju. Namun, beberapa informasi harus melalui alur hierarkisnya tersendiri. Sebagai contoh, informasi magang di kawasan Asia Tenggara disebar melalui grup dosen/staf/pihak yang berwenang lainnya dari berbagai program studi non-kependidikan. Namun ketika pihak yang terlibat dalam grup tersebut tidak responsif dengan informasi yang ada dan tidak meneruskan informasi tersebut ke mahasiswa tentu saja hilanglah kesempatan para mahasiwa untuk ikut terlibat dalam program tersebut.

Ketiga, mendadaknya informasi yang diperoleh. Mahasiswa menjadi deadliners sudah menjadi sebuah rahasia umum. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa the power of ‘kepepet’ itu benar adanya. Namun, ketika ada instruksi untuk mengikuti seleksi menjadi mahasiswa berprestasi dengan syarat membuat karya tulis ilmiah dengan waktu tersisa tinggal empat hari agaknya kurang manusiawi. Beruntunglah jika mahasiswa yang terpilih telah mengikuti banyak kompetisi karya tulis ilmiah sehingga paling tidak dapat melampirkan karya tulis yang pernah ia garap. Namun sungguh malang bagi ia yang benar paling unggul di ‘kandang’-nya namun belum memiliki pengalaman menggarap karya tulis bak Bandung Bondowoso membuat Candi Borobudur untuk Roro Jonggrang.

Keempat, minimnya bimbingan. Ketika motivasi telah membuncah dan berbagai informasi telah terkumpul tentu perlu ada usaha lebih untuk terus menerus mengikuti alur birokrasi yang berlaku. Untuk melalui semua itu, tentu diperlukan bimbingan dari institusi itu sendiri. Disisi lain, telah banyak terdengar mahasiswa yang begitu inspiratif membagikan pengalamannya yang jatuh bangun mengurus keberangkatannya ke luar negeri ketika mengikuti suatu program. Ia yang berhasil merupakan ia yang gigih mengurus segala keperluannya sendiri. Namun, adapula institusi yang  mendukung penuh mahasiwanya untuk go international.

Kelima, minimnya fasilitas penunjang. Institusi tempat penulis bernaung pada dasarnya berbasis pendidikan. Namun seiring berjalannya waktu, dengan menyandang status Perguruan Tinggi Berbadan Hukum dikembangkanlah program-program studi non kependidikan. Hal ini merupakan angin segar bagi calon mahasiswa karena banyaknya alternatif yang dapat dipilih. Akan tetapi, pada nyatanya sebagian besar program studi non kependidikan tersebut masih kalah saing dengan universitas dan institut ternama lain. Masih banyak fasilitas yang kurang menunjang untuk optimalisasi potensi mahasiswa misal, penggunaan laboraturium yang dibatasi disaat di kampus lain mahasiswa dapat leluasa menggunakannya 24 jam.

Kunci Raih Prestasi; Sinergitas Kolaborasi Dosen dan Mahasiswa

Pembaca yang budiman, dari hal-hal yang penulis paparkan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk memperbaiki citra suatu institusi diperlukan kerja sama dari berbagai pihak agar saling bersinergi satu sama lain. Pihak institusi tidak dapat disalahkan sepenuhnya ketika mahasiswanya saja apatis. Pun mahasiswa tidak dapat disalahkan sepenuhnya jika fasilitas dan tenaga pengajar tidak mendukung. Untuk itu mari kita perbaiki segala permasalahan yang ada dari akarnya demi mewujudkan sumber daya manusia yang kompetitif, inovatif dan berkarakter. Bagi para mahasiswa yang telah memiliki gagasan yang maju dan ambisi yang kuat, mari ciptakan iklim yang kondusif bagi lingkungan sekitar agar mewujudkan gerakan masif mahasiswa untuk bersama-sama meraih prestasi. Bagi tenaga pengajar dan pihak-pihak yang berwenang, perlu pendampingan agar mahasiswa dapat  meraih prestasi yang diharapkan.